Pengertian
Food Additive atau
Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan yang
secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi
ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan,
antara lain bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal,
pemucat, dan pengental.
Dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 272/Menkes/Per/IX/88
dijelaskan bahwa Bahan Tambahan Pangan adalah bahan yang biasanya tidak
digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan ingredien khas
makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja
ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan,
pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan
atau pengangkutan makanan untuk menghasilkan atau diharapkan
menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat khas makanan
tersebut.
Mengapa BTP Sering Ditambahkan ke Dalam Pangan?
BTP
adalah bahan yang tidak dikonsumsi langsung sebagai makanan dan tidak
merupakan bahan baku pangan, dan penambahannya ke dalam pangan ditujukan
untuk mengubah sifat-sifat makanan seperti bentuk, tekstur, warna,
rasa, kekentalan, dan aroma, untuk mengawetkan, atau untuk mempermudah
proses pengolahan.
Secara khusus kegunaan BTP di dalam pangan adalah untuk:
1.
Mengawetkan pangan dengan mencegah pertumbuhan mikroba perusak pangan
atau mencegah terjadinya reaksi kimia yang dapat menurunkan mutu pangan.
2. Membentuk makanan menjadi lebih baik, renyah, dan lebih enak di mulut.
3. Memberikan warna dan aroma yang lebih menarik sehingga menambah selera.
4. Meningkatkan kualitas pangan.
5. Menghemat biaya.
Penggolongkan Bahan Tambahan Pangan (BTP)
BTP
dikelompokkan berdasarkan tujuan penggunaannya di dalam pangan.
Pengelompokan BTP yang diizinkan digunakan pada makanan menurut
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 adalah sebagai
berikut:
l . Pewarna, yaitu BTP yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan.
2. Pemanis buatan, yaitu BTP yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan, yang tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi.
3.
Pengawet, yaitu BTP yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi,
pengasaman atau peruraian lain pada makanan yang disebabkan oleh
pertumbuhan mikroba.
4. Antioksidan, yaitu BTP yang dapat mencegah atau menghambat proses oksidasi lemak sehingga mencegah terjadinya ketengikan.
5. Antikempal, yaitu BTP yang dapat mencegah mengempalnya (menggumpalnya) makanan yang berupa serbuk seperti tepung atau bubuk.
6. Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa, yaitu BTP yang dapat memberikan, menambah atau mempertegas rasa dan aroma.
7.
Pengatur keasaman (pengasam, penetral, dan pendapar), yaitu BTP yang
dapat mengasamkan, menetralkan, dan mempertahankan derajat keqsaman
makanan.
8.
Pemutih dan pematang tepung, yaitu BTP yang dapat mempercepat proses
pemutihan dan atau pematang tepung sehingga dapat memperbaiki mutu
pemanggangan.
9.
Pengemulsi, pemantap dan pengental, yaitu BTP yang dapat membantu
terbentuknya dan memantapkan sistem dispersi yang homogen pada makanan.
10. Pengeras, yaitu BTP yang dapat memperkeras atau mencegah melunaknya makanan.
11. Sekuestran, yaitu BTP yang dapat mengikat ion logam yang ada dalam makanan, sehingga memantapkan warna, aroma, dan tekstur.
Selain
BTP yang tercantum dalam Peraturan Menteri tersebut, masih ada beberapa
BTP lainnya yang biasa digunakan dalam makanan, misalnya:
l. Enzim, yaitu BTP yang berasal dari hewan, tanaman atau mikroba, yang
dapat menguraikan secara enzimatis, misalnya membuat makanan menjadi
lebih empuk, lebih larut, dan lain-lain.
2.
Penambah gizi, yaitu bahan tambahan berupa asam amino, mineral atau
vitamin, baik tunggal maupun campuran, yang dapat meningkatkan nilai
gizi makanan.
3. Humektan, yaitu BTP yang dapat menyerap lembab (uap air) sehingga mempertahankan kadar air dan makanan.
Sifat, Kegunaan dan Keamanan BTP
Dari
beragam jenis BTP seperti yang telah disebutkan di atas, sebenarnya
hanya beberapa yang penggunaannya pada makanan lebih sering dibandingkan
dengan BTP lainnya. Oleh karena itu sifat dan keamanan BTP yang sering
digunakan tersebut akan dijelaskan di bawah ini.
Pewarna
Penambahan bahan pewarna pada makanan dilakukan untuk beberapa tujuan, yaitu:
• Memberi kesan menarik bagi konsumen
• Menyeragamkan warna makanan
• Menstabilkan warna
• Menutupi perubahan warna selama proses pengolahan
• Mengatasi pembahan warna selama penyimpanan.
Penggunaan
pewarna yang aman pada makanan telah diatur melalui peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88, yang mengatur mengenai pewarna
yang dilarang digunakan dalam makanan, pewarna yang diizinkan serta
batas penggunaannya, termasuk penggunaan bahan pewarna alami. Akan
tetapi masih banyak produsen makanan, tenrtama pengusaha kecil, yang
menggunakan bahan-bahan pewarna yang dilarang dan berbahaya bagi
kesehatan, misalnya pewarna untuk tekstil atau cat. Hal ini disebabkan
pewarna tekstil atau cat umumnya mempunyai warna lebih cerah, lebih
stabil selama penyimpanan, serta harganya lebih murah, dan produsen
pangan belum mengetahui dan menyadari bahaya dari pewarna-pewarna
tersebut.
Beberapa pewarna terlarang dan berbahaya yang sering ditemukan pada makanan, terutama makanan jajanan, adalah Metannil Yellow (kuning metanil) yang berwarna kuning, dan Rhodamin B yang
berwarna merah. Bahan pewarna kuning dan merah tersebut sering
digunakan dalam pembuatan berbagai macam makanan seperti sirup, kue-kue,
agar, tahu, pisang dan tahu goreng, dan lain-lain. Kedua pewarna ini
telah dibuktikan menyebabkan kanker yang gejalanya tidak dapat terlihat
langsung setelah mengkonsumsi, oleh karena itu dilarang digunakan di
dalam makanan walaupun dalam jumlah sedikit
Alternatif lain untuk
menggantikan penggunaan pewarna sintetis adalah dengan menggunakan
pewarna alami seperti ekstrak daun pandan atau daun suji, kunyit, dan
ekstrak buah-buahan yang pada umumnya lebih aman. Akan tetapi penggunaan
bahan pewarna alami juga ada batasannya sesuai dengan peraturan yang
telah ditetapkan. Beberapa pewarna alami yang diizinkan digunakan dalam
makanan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88
diantaranya adalah:
• Karamel, yaitu
pewarna alami berwarna coklat yang dapat digunakan untuk mewarnai
jem/jeli (200 mg/kg), acar ketimun dalam botol (300 mg/kg, dan yogurt
beraroma (I50 mg/kg).
• Beta-karoten, yaitu
pewarna alami berwarna merah-oranye yang dapat digunakan untuk mewarnai
acar ketimun dalam botol (300 mg/kg), es krim (100 mg/kg), keju (600
mg/kg), dan lemak dan minyak makan (secukupnya).
• Klorofil, yaitu pewarna alami berwarna hijau yang dapat digunakan untuk mewarnai jem/jeli (200 mg/kg) atau keju (secukupnya).
• Kurkumin, yaitu
pewarna alami berwarna kuning-oranye yang dapat digunakan untuk
mewarnai es krim dan sejenisnya (50 mg/kg), atau lemak dan minyak makan
(secukupnya).
Pemanis Buatan
Pemanis
buatan sering ditambahkan ke dalam makanan dan minunan sebagai
pengganti gula karena mempunyai kelebihan dibandingkan dengan pemanis
alami (gula), yaitu:
• Rasanya lebih manis
• Membantu mempertajam penerimaan terhadap rasa manis
• Tidak mengandung kalori atau mengandung kalori yang jauh lebih rendah
sehingga cocok untuk penderita penyakit gula (diabetes)
• Harganya lebih manis.
Pemanis
buatan yang paling umum digunakan dalam pengolahan pangan di Indonesia
adalah siklamat dan sakarin yang mempunyai tingkat kemanisan
masing-masing 30-80 dan 300 kali gula alami, oleh karena itu sering
disebut sebagai "biang gula". Penggunaan pemanis buatan dalam makanan
diatur melalui peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88.
Menurut
Peraturan Menteri Kesehatan sebenarnya siklamat dan sakarin hanya boleh
digunakan dalam makanan yang khusus ditujukan untuk orang yang
menderita diabetes atau sedang menjalani diet kalori. Amerika dan Jepang
bahkan sudah melarang sama sekali penggunaan kedua pemanis tersebut
karena terbukti berbahaya bagi kesehatan.
Di
Indonesia, siklamat dan sakarin sangat mudah diperoleh dengan harga
yang relatif murah. Hal ini mendorong produsen minuman ringan dan
makanan jajanan untuk menggunakan kedua jenis pemanis buatan tersebut di
dalam produknya. Penggunaan pemanis tersebut terutama didasari pada
alasan ekonomi karena harga gula pasir yang cukup tinggi, sedangkan
tingkat kemanisan pemanis buatan jauh lebih tinggi daripada gula
sehingga penggunaannya cukup dalam jumlah sedikit, yang berarti
mengurangi modal.
Batas
maksimum penggunaan siklamat adalah 500 mg - 3 g/kg bahan, sedangkan
batas maksimum penggunaan sakarin adalah 50 - 300 mg/kg bahan. Keduanya
hanya boleh digunakan untuk makanan rendah kalori, dan dibatasi tingkat
konsumsinya sebesar 0,5 mg/kg berat badan/hari. Jadi bila berat badan
kita 50 kg, maka jumlah maksimum siklamat atau sakarin yang boleh
dikonsumsi per hari adalah 50 x 0,5 mg atau 25 mg. Jika kita
mengkonsumsi kue dengan kandungan siklamat 500 mg/kg bahan, maka dalam
satu hari kita hanya boleh mengkonsumsi 25/500 x l kg atau 50 g kue.
Penggunaan pemanis buatan yang diizinkan dalain makanan adalah sebagai berikut:
• Sakarin (dan garam natrium sakarin), untuk saus, es lilin, minuman ringan dan minuman yogurt berkalori rendah (300 mg/kg),
es krim, es puter dan sejenisnya serta jem dan jeli berkalori rendah
(200 mg/kg), permen berkalori rendah (100 mg/kg), serta permen karet dan
minuman ringan fermentasi berkalori rendah (50 mg/kg).
•
Siklamat (dan garam natrium dan kalsium siklamat), untuk saus, es
lilin, minuman ringan dan minuman yogurt berkalori rendah (3 g/kg), es
krim, es puter dan sejenisnya serta jem dan jeli berkalori rendah (2
g/kg), permen berkalori rendah (1 g/kg), dan minuman ringan fermentasi
berkalori rendah (500 mg/kg).
• Sorbitol, untuk kismis (5 g/kg), jem, jeli dan roti (300 mg/kg), dan makanan lain (120 mg/kg).
• Aspartam.
Pengawet
Bahan
pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai
sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat proses
fermentasi, pengasaman atau peruraian yang disebabkan oleh mikroba.
Tetapi tidak jarang produsen pangan menggunakannya pada makanan yang
relatif awet dengan tujuan untuk memperpanjang masa simpan atau
memperbaiki tekstur.
Pengawet
yang banyak dijual di pasaran dan digunakan untuk mengawetkan berbagai
makanan adalah benzoat, yang umumnya terdapat dalam bentuk natrium
benzoat atau kalium benzoat yang bersifat lebih mudah larut. Benzoat
sering digunakan untuk mengawetkan berbagai makanan dan minuman seperti
sari buah, minuman ringan, saus tomat, saus sambal, jem dan jeli,
manisan, kecap, dan lain-lain.
Penggunaan
pengawet dalam makanan harus tepat, baik jenis rnaupun dosisnya. Suatu
bahan pengawet mungkin efektif untuk mengawetkan makanan tertentu,
tetapi tidak efektif untuk mengawetkan makanan lainnya karena makanan
mempunyai sifat yang berbeda-beda sehingga mikroba perusak yang akan
dihambat pertumbuhannya juga berbeda. Beberapa bahan pengawet yang umum
digunakan dan jenis makanan serta batas penggunaannya pada makanan
diantaranya adalah:
• Benzoat (dalam
bentuk asam, atau garam kalium atau natrium benzoat), yaitu bahan yang
digunakan untuk mengawetkan minuman ringan dan kecap (600 mg/kg), serta
sari buah, saos tomat, saus sambal, jem dan jeli, manisan, agar, dan
makanan lain (1 g/kg).
•
Propionat (dalam bentuk asam, atau garam kalium atau natrium
propionat), yaitu bahan pengawet untuk roti (2 g/kg) dan keju olahan (3
g/kg).
•
Nitrit (dalam bentuk garam kalium/natrium nitrit) dan nitrat (dalam
bentuk garam kalium/natrium nitrat), yaitu bahan pengawet untuk daging
olahan atau yang diawetkan seperti sosis (125 mg nitrit/kg atau 500 mg
nitrat/kg), korned dalam kaleng (50 mg nitrit/kg), atau keju (50 mg
nitrat/kg).
•
Sorbat (dalam bentuk garam kalium atau kalsium sorbat), yaitu bahan
pengawet untuk margarin, pekatan sari buah, dan keju (1 g/k g).
•
Sulfit (dalam bentuk garam kalium atau natrium bisulfit atau
metabisulfit), yaitu bahan pengawet untuk potongan kentang goreng (50
mg/kg), udang beku (100 mg/kg), dan pekatan sari nenas (500 mg/kg).
Pada
saat ini masih banyak ditemukan penggunaan bahan pengawet
yang dilarang namun digunakan dalam makanan dan berbahaya bagi
kesehatan, misalnya boraks dan formalin. Boraks banyak digunakan dalam
berbagai makanan seperti bakso, mie basah, pisang molen, lemper, buras,
siomay, lontong, ketupat, dan pangsit. Selain bertujuan untuk
mengawetkan juga dapat membuat makanan lebih kompak (kenyal) teksturnya
dan memperbaiki penampakan. Akan tetapi boraks sangat berbahaya bagi
kesehatan. Boraks bersifat sebagai antiseptik dan pembunuh kuman, oleh
karena itu banyak digunakan sebagai anti jamur, bahan pengawet kayu, dan
untuk bahan antiseptik pada kosmetik. Penggunaan boraks seringkali
tidak disengaja karena tanpa diketahui terkandung
di dalam bahan-bahan tambahan seperti pijer atau bleng yang sering
digunakan dalam pembuatan bakso, mie basah, lontong dan ketupat.
Formalin
juga banyak disalahgunakan untuk mengawetkan makanan seperti tahu dan
mie basah. Formalin sebenarnya merupakan bahan untuk mengawetkan mayat
dan organ tubuh dan sangat berbahaya bagi kesehatan, oleh karena itu
dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 formalin
merupakan salah satu bahan yang dilarang digunakan sebagai BTP.
Penyedap Rasa dan Aroma, Penguat Rasa
Salah
satu penyedap rasa dan aroma yang dikenal luas di Indonesia adalah
vetsin atau bumbu masak, dan terdapat banyak merek di pasaran. Penyedap
rasa mengandung senyawa yang disebut monosodium glutamat (MSG). Peranan
asam glutamat sangat penting, diantaranya untuk merangsang dan
menghantar sinyal-sinyal antar sel otak, dan dapat rnemberikan citarasa
pada makanan. Dalam peraturan penggunaan MSG dibatasi secukupnya, yang
berarti tidak boleh berlebihan.